Gubernur Wayan Koster Ciptakan Bali Berkepribadian Dalam Kebudayaan Melalui Program Pemajuan dan Penguatan Kebudayaan Bali

Gubernur Koster Totalitas Lestarikan Aksara Bali, Peduli Terhadap Seniman dan Produk Budaya, Sampai Wujudkan Pariwisata Bali Berbasis Budaya
Keberpihakan Gubernur Bali, Wayan Koster terhadap Adat Istiadat, Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali betul-betul diwujudkannya di Pemerintah Provinsi Bali dengan memegang teguh konsep Trisakti Bung Karno, yaitu Berkepribadian dalam Kebudayaan, selain Berdaulat secara Politik dan Berdikari secara Ekonomi, untuk melaksanakan visi pembangunan daerah Bali, yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru.
Hal itu terlihat, ketika pasangan Gubernur Bali dan Wakil Gubernur Bali Wayan Koster – Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengeluarkan: 1) Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali; 2) Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali; 3) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali; 4) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali; 5) secara nyata melakukan pembangunan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali di Kabupaten Klungkung sebagai upaya Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali; dan 6) Melindungi serta memberdayakan Warisan Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI dengan memfasilitasi pendaftaran Sertifikat Kekayaan Intelektual (KI).

Atas kerja nyata Gubernur Bali, Wayan Koster membuat Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Prof. Dr. Wayan ‘Kun’ Adnyana angkat bicara. Prof. Wayan ‘Kun’ Adnyana menyebut program Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan di Bali telah tersurat jelas dalam pencapaian 44 Tonggak Peradaban Penanda Bali Era Baru yang menjadi bukti prestasi gemilang kepemimpinan Gubernur Bali, Wayan Koster dan Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati. “Seluruh hasil kebijakan Gubernur Bali, Wayan Koster telah mencakup keutuhan fondasi tatanan kehidupan masyarakat Bali secara Niskala-Sakala, dan sangat nyata, konkret dirasakan hasilnya oleh masyarakat,” ujar Rektor ISI Denpasar. Hal itu dapat kita lihat dalam penguatan dan pemajuan Adat Istiadat, Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali yang dilaksanakan oleh Bapak Gubernur Wayan Koster sangat-lah menyeluruh, utuh, dan mendasar. Sehingga Desa Adat di Bali benar-benar harus menjadi benteng ketahanan Bali dalam menghadapi dinamika nasional dan global.
Bidang budaya apalagi. Bapak Wayan Koster bersama Tjokorda Oka Sukawati adalah figur pemimpin Bali yang saling melengkapi dengan memiliki pengalaman dibidang budaya. Sehingga dalam kepemimpinannya, lahir kebijakan Penggunaan Bahasa serta Aksara Bali, Penggunaan Busana Adat Bali, dan Pemakaian Kain Tenun Endek. Pengembangan ruang apresiasi baru dibidang seni budaya juga dihadirkan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, seperti Bulan Bahasa Bali, Festival Seni Bali Jani, dan pengembangan Pesta Kesenian Bali dengan Perayaan Budaya Dunia di Bali serta Jantra Tradisi Bali. Sehingga visi pembangunan Daerah Bali, yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru secara konkret telah terimplementasi nyata dan diapresiasi luas oleh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan tokoh, lembaga penting di Indonesia sampai dunia yang ditandai dengan raihan penghargaan.
“Prestasi luar biasa Gubernur Bali, Wayan Koster tentu sangat membanggakan masyarakat Bali. Langkah berani dengan gagasan besar dan genial, berikut capaian monumental, membuat Gubernur Bali, Bapak Wayan Koster menjadi inspirasi kaum muda Bali di dalam melaksanakan Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali,” pungkas Prof. Kun Adnyana.

Sementara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum menilai kinerja Gubernur Bali, Bapak Wayan Koster sangat memperlihatkan hasil nyata, tepat dan penting di dalam usaha melindungi dan memberdayakan Warisan Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali. Mengapa demikian? Karena Gubernur Wayan Koster telah mengeluarkan Perda Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, ketika Pulau Dewata ini dijadikan sebagai parameter destinasi wisata dunia. Sehingga memang perlu Bali memiliki landasan payung hukum untuk menguatkan budaya dan memajukan sektor budaya Bali untuk menghadapi berbagai tantangan zaman. “Bali sebagai daerah yang sarat akan budaya, tidak boleh puas dengan pujian-pujian saja. Budaya yang dinikmati oleh wisatawan mancanegara senantiasa harus dipelihara. Jadi Perda ini harus membidani kemunculan lembaga kebudayaan yang bernama Majelis Kebudayaan Bali,” ujar Prof. Made Sri Satyawati.
Majelis Kebudayaan Bali, selama ini telah melakukan berbagai aktivitas pembinaan kebudayaan khususnya seni sakral, kidung, pedalangan, dan yang lainnya di seluruh Kabupaten/Kota di Bali. Lembaga ini juga telah menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Bali yang menjadi wahana diskusi para budayawan untuk mengeluarkan rekomendasi strategis Pemajuan dan Penguatan Kebudayaan Bali. Hal ini sangat penting untuk menentukan strategi kebudayaan Bali, baik pada masa kini maupun masa yang akan datang di tengah-tengah industri pariwisata yang berkembang pesat di Bali.
Selanjutnya, realisasi Perda yang digagas Gubernur Wayan Koster juga dapat dilihat dalam Program Jantra Tradisi Bali dan Festival Seni Bali Jani, selain kegiatan Pesta Kesenian Bali. Jadi, Jantra Tradisi Bali telah memberikan ruang terhadap kegiatan budaya Bali yang menjadi wadah apresiasi terhadap bidang pemajuan kearifan lokal, pengetahuan tradisional, pengobatan tradisional, teknologi tradisional, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Berbagai renik budaya tradisional ini nyaris tidak tergarap selama ini dan baru diperhatikan pada masa pemerintahan Bapak Wayan Koster dan Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.
Tak hanya merealisasikan kegiatan berbasis tradisi, satu program penting untuk mewadahi seni Bali Modern yang dipayungi oleh Perda Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali adalah Festival Seni Bali Jani. Program ini memberikan ruang pertumbuhan seni modern, kontemporer, dan inovatif. Festival Seni Bali Jani memicu denyut nadi kelahiran seni-seni baru yang berakar dari spirit Bali. Perda Nomor 4 Tahun 2020 kian menunjukkan jati dirinya ke publik, ketika Murdaning Jagat Bali menjadikan regulasi ini sebagai landasan pembangunan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali yang lokasinya di Klungkung.
Kawasan Pusat Kebudayaan Bali ini nantinya akan berisi berbagai fasilitas seni, museum tematik, serta terintegrasi dengan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Kawasan Pusat Kebudayaan Bali ini diharapkan menjadi lokus baru pengembangan budaya Bali yang unggul, berkarakter, dan mampu mencerminkan keluhuran peradaban Bali.
“Astungkara ini terwujud, Bali akan kembali mencapai masa keemasan Kebudayaan Bali yang saat itu pernah terjadi di era Kerajaan Gelgel dengan Raja Dalem Waturenggong,” tegas Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unud ini.
Kecerdasan yang dimiliki Gubernur Bali, Wayan Koster juga bisa kita lihat, ketika warisan budaya Bali dijadikan sumber kekuatan budaya yang dirasakan masyarakat, dan menjadi pendapatan ekonomi oleh perajin di Bali. Contoh saja, Perda Nomor 4 Tahun 2020 bisa direalisasikannya berupa penggunaan busana Adat Bali pada hari Kamis, Purnama, dan Tilem, serta Hari Jadi Pemprov Bali. Dalam konteks pariwisata Bali, penggunaan busana Adat Bali yang juga dilakukan oleh para pekerja pariwisata dapat mencerminkan identitas Bali yang unik dan khas. Tidak sedikit wisatawan yang kemudian ikut menggunakan udeng, kamen, dan kebaya sepanjang berlibur di Bali. “Hal ini pada saat yang bersamaan, tentu juga memutar roda ekonomi para pengusaha Bali di bidang tekstil. Yang terpenting, penggunaan busana Adat Bali dalam skala nasional juga mampu meredam isu radikalisme atas keyakinan tertentu yang ingin menyeragamkan identitas masyarakat Indonesia,” ujar Dekan di Fakultas yang memiliki nilai sejarah pendidikan pada era Presiden RI, Ir. Soekarno ini.
Inilah realisasi nyata Gubernur Bali, Wayan Koster dari pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan yang perlu terus dilakukan. “Semoga pemajuan kebudayaan Bali yang dilakukan Murdaning Jagat Bali, secara alami mampu membentuk karakter positif manusia (etika-etika yang berbudaya) khususnya generasi muda,” harapnya seraya mengucapkan terimakasih ke Gubernur Wayan Koster yang sangat mendukung dan membantu Fakultas Ilmu Budaya Unud (dulu namanya Fakultas Sastra) untuk didaftarkan sebagai situs Cagar Budaya. Karena Fakultas Ilmu Budaya merupakan situs yang sudah berusia lebih dari 60 tahun dan terdapat prasasti peresmian Fakultas yang ditandatangani oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Sebagai penutup, Prof. Dr. Made Sri Satyawati mengungkapkan sosok Gubernur Bali, Wayan Koster adalah pemimpin yang begitu totalitas melestarikan kebudayaan Bali dengan menempatkan kebudayaan sebagai hulu pembangunan.
Hal itu ia perkuat dengan melakukan perlindungan dan pemberdayaan Warisan Tradisi, Seni, Budaya, dan Kearifan Lokal Bali ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) dengan memfasilitasi pendaftaran Sertifikat Kekayaan Intelektual (KI). “Kekayaan intelektual merupakan nyawa dari sebuah produk budaya. Jadi pendaftaran Kekayaan Intelektual sangat penting di tengah kompetisi dunia industri saat ini dan pesatnya laju perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan suatu produk kebudayaan bisa diklaim, diflagiasi, bahkan dilegitimasi oleh guyub kultur masyarakat lain. Tujuannya tentu tidak hanya berkaitan dengan persoalan identitas, tetapi yang paling pasti di balik klaim-klaim tersebut, adalah kapitalisasi ekonomi,” bebernya.
Jadi apa yang dilakukan oleh Bapak Wayan Koster, sudah dalam usaha mewaspadai adanya kapitalisasi ekonomi di balik klaim sebuah produk budaya. Karena tidak sedikit daerah lain yang pasti ingin menjadikan wilayahnya seperti Bali dengan cara artifisial dan pragmatis, sehingga potensial meniru ragam budaya fashion, tarian, kerajinan tangan, dan yang lainnya. Bukan tidak mungkin juga kain tenun endek, tenun gringsing, tari pendet, dan yang lainnya bisa terancam diklaim oleh produk budaya daerah atau bangsa lain, apabila tidak didaftarkan di Kemenkumham RI. “Pendaftaran KI yang telah dilakukan oleh Bapak Gubernur Wayan Koster perlu diteruskan secara konsisten dan kami sangat apresiasi. Dengan cara ini, budaya Bali sebagai hulu pembangunan akan menjadi ngamertanin ‘mensejahterakan lahir-batin’ krama Bali sendiri,” tutupnya.

Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali juga dilakukan dengan mengimplementasikan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali, yang kini menjadi salah satu dari 44 Tonggak Penanda Bali Era Baru di era pemerintahan Gubernur Bali, Wayan Koster. Dosen Sastra Bali, Universitas Udayana, I Gde Nala Antara menilai langkah Gubernur Bali, Wayan Koster mengeluarkan Pergub Bali Nomor 80/2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali adalah kerja nyata Murdaning Jagat Bali untuk memuliakan dan mengabadikan seluruh pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan para leluhur manusia Bali tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali.
Bali sangat beruntung mempunyai Gubernur Bali seperti Wayan Koster yang telah mendedikasikan kepemimpinannya untuk melestarikan Aksara Bali dengan tujuan menjaga eksistensi dan peran utama Aksara Bali dalam kehidupan masyarakat di Bali. Mengingat, Aksara Bali dari sejarahnya telah menjadi simpul utama penghubung energi semesta dengan energi dalam sarira manusia, sehingga banyak dimanfaatkan dalam ranah mistis atau spiritual.
Dalam ranah spiritual, Aksara Bali sesungguhnya telah mengiringi manusia Bali sejak lahir hingga kembali ke pangkuan Ibu pertiwi. Ketika lahir, di dalam ari-ari sesungguhnya telah dibekali Aksara Bali sesuai dengan jenis kelamin sang bayi. Demikian pula ketika beranjak dewasa, Aksara Bali dimanfaatkan oleh para Pendeta untuk menetralkan pengaruh sad ripu dalam upacara potong gigi atau mepandes.
Di sisi lain, pada saat seseorang akan manunggal dengan Muasal Kehidupan, Aksara Bali kembali berperan terutama dalam rajah-rajah kajang. Ini artinya, aksara Bali adalah bekal dari lahir hingga mati. Bersandar pada peran vital di atas, Aksara Bali juga disebut sebagai “Makuta Mandita Budaya” yang bermakna Aksara Bali adalah mahkota kebudayaan Bali. “Jadi Pergub Bali Nomor 80/2018 ini boleh dikatakan sebagai Catra Aksara atau payung aturan untuk menjaga daya hidup Aksara Bali di tengah-tengah dominasi huruf Latin,” kata I Gde Nala Antara.
Gubernur Bali, Wayan Koster juga sangat cermat dalam mengeluarkan kebijakan ini. Dimana dijelaskan dalam Pergub Bali Nomor 80/2018, Aksara Bali diletakan di atas huruf Latin dalam penulisan nama tempat persembahyangan umat Hindu, lembaga adat, prasasti peresmian gedung, gedung, lembaga pemerintahan, lembaga swasta, jalan, sarana pariwisata, dan fasilitas umum lainnya. Sehingga peletakan Aksara Bali di atas huruf Latin tidak hanya tepat secara filosofis, karena Aksara Bali diyakini mahkota kebudayaan Bali, tetapi secara visual Aksara Bali juga menjadi media prioritas untuk dibaca. “Dengan demikian, generasi muda menjadi semakin dekat dengan aksara ibunya, yaitu Aksara Bali. Secara otomatis, semakin banyak dilihat dan dibaca dalam ruang-ruang publik, dan Aksara Bali akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari memori generasi muda Bali,” jelasnya.
Kebijakan Gubernur Bali asal Desa Sembiran, Buleleng ini tentang Pergub Bali Nomor 80/2018 juga sangat sesuai dengan amanat pustaka Parama Tattwa Suksma yang menyatakan Aksara Bali angebek ring sukma bhuwana agung yang bermakna Aksara Bali memenuhi semesta. Dengan keterlibatan instansi swasta yang juga memuat Aksara Bali pada papan nama perusahaannya, maka Aksara Bali menjadi semakin banyak mengisi lanskap Kota hingga Desa. “Apabila Bali dianalogikan sebagai padma bhuwana, maka dalam setiap helai kelopak teratainya ada guratgurat aksara yang menjadi utama di dalamnya,” pungkasnya.

Selanjutnya Dosen Politeknik Pariwisata Bali, Dr. Ni Made Eka Mahadewi, M.Par. CHE., CEE memandang Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali adalah gagasan tepat guna yang dilakukan Gubernur Bali, Wayan Koster. Karena, Perda ini merupakan produk hukum untuk memayungi kepariwisataan berbasis pada budaya Bali, mengingat Bali sebagai destinasi wisata budaya. Atas hal itu, pelaku pariwisata Bali wajib melestarikan Adat Istiadat, Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali di dalam kegiatan pariwisata, seperti melaksanakan kebijakan penggunaan Aksara Bali pada papan nama, ruangan, dan fasilitas usaha pariwisata. “Kebijakan ini sangat bagus, namun yang perlu diperhatikan adalah penempatan dan penyiapan papan nama Aksara Bali agar terus disosialisasikan keberadaannya, agar mudah diakses oleh pengelola usaha pariwisata,” kata Dr. Ni Made Eka Mahadewi.
Penggunaan Busana Adat Bali setiap Hari Kamis, Hari Purnama, dan Hari Tilem sebagai pelaksanaan Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 dan Penggunaan Busana Berbahan Kain Tenun Endek Bali Kain Tenun Tradisional Bali setiap Hari Selasa sebagai pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2021, juga sangat setuju untuk diberlakukan ke pelaku pariwisata di Bali.
“Namun ada yang perlu dicermati, agar trend fashion seperti endek yang dibuat oleh pengusaha tradisional harus mengikuti trend terkini, agar wisatawan juga ikut menggunakan produk lokal Bali tanpa harus meninggalkan jati diri produk budaya Bali itu sendiri,” ungkapnya.

Tidak hanya akademisi, ‘Yowana’ atau generasi muda di Bali juga memberi apresiasi atas kinerja Gubernur Bali, Wayan Koster di dalam melakukan Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali. Menurut Seniman Topeng asal Banjar Batanancak, Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar, I Komang Bagus Megahartana (27) bahwa visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang digagas Bapak Wayan Koster di Pemerintah Provinsi Bali telah membawa Seni Budaya Bali kian hidup. “Lihat saja, sekarang. Tidak hanya Pesta Kesenian Bali yang menjadi wadah para seniman di Bali untuk menampilkan karya-nya, namun telah bertambah program Seni Budaya di Bali, melalui kegiatan Festival Seni Bali Jani, Bulan Bahasa Bali, sampai Lomba Ogoh – Ogoh pun dijadikan ajang tahunan,” ujar Komang Bagus seraya menyampaikan Saya sebagai seniman sangat senang sekali adanya program yang diluncurkan Bapak Gubernur Wayan Koster. Sehingga para Yowana yang menggeluti dunia Seni Budaya Bali tidak henti-hentinya berkarya untuk tampil di setiap momen seperti Festival Seni Bali Jani dan Bulan Bahasa Bali.
Apalagi Gubernur Bali kita telah mengadakan Lomba Ogoh – Ogoh, maka program nyata ini sangat menambah kreativitas anak muda di dalam menampilkan karya yang terbaiknya. Ini program yang kami dari dulu sangat tunggu-tunggu, semoga Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung juga selesai sesuai waktu yang direncanakan, sehingga karya monumental Bapak Wayan Koster bisa kami manfaatkan untuk melestarikan Seni Budaya Bali.
Program Seni Budaya yang digagas oleh Gubernur Bali, Wayan Koster bersama Wagub Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati juga dikatakannya sangat menyentuh para pemuda untuk lebih berkreatifitas lagi. Contoh saja, saat Bulan Bahasa Bali, kami para Yowana di Desa Mas sangat antusias ikut dalam lomba mekekawin antar Banjar dan lomba mepidato Bahasa Bali. “Kalau terus ini berlangsung, Saya yakin ini adalah wadah yang menjadikan generasi muda di Bali Berkepribadian dalam Kebudayaan,” tegas Komang Bagus Megahartana. Tidak hanya memberi program dalam berkesenian dan budaya, namun sosok Gubernur Wayan Koster juga dinilai sangat mengerti tentang denyut nadi para seniman di Bali. Sehingga dalam ajang PKB dan FSBJ, kita terus bisa melihat betapa perhatiannya Bapak Koster bersama Wagub Cok Ace memberi penghargaan berupa Penghargaan Pengabdi Seni dan Penghargaan Bali Jani Nugraha. “Saya senang melihat Pemerintah Provinsi Bali telah peduli dengan Seniman di Bali,” ujarnya.